Terbaru

Momentum Berdirinya Kota Gunungsitoli

[RESENSI BUKU] 
Cover  Buku
Berbicara mengenai sejarah berdirinya Kota Gunungsitoli, kebanyakan masyarakat tidak mengetahui kapan momentumnya. Sebagian berpikir praktis bahwa momentum berdirinya Kota Gunungsitoli adalah terbitnya UU No. 47 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Gunungsitoli, yakni tanggal 26 Nopember 2008. Perlu dipahami, bahwa UU No. 47 Tahun 2008 merupakan yurisdiksi formal ditetapkannya Gunungsitoli sebagai daerah otonom oleh Pemerintah Republik Indonesia. Kalau ini yang dianggap sebagai momentum berdirinya Kota Gunungsitoli, maka sama halnya menafikan eksistensi Gunungsitoli sebagai sebuah kota yang telah lama menjadi salah satu pusat peradaban di Kepulauan Nias jauh sebelum terbitnya UU No. 47 Tahun 2008.

Dalam konteks berdirinya sebuah kota sebagai pusat peradaban yang memiliki pemerintahan, batas wilayah dan rakyat, maka perlu ditegaskan bahwa momentum berdirinya Kota Gunungsitoli bukanlah terbitnya UU No. 47 Tahun 2008. Berdirinya Kota Gunungsitoli harus dipahami lebih dalam dan luas dari berbagai sisi, baik pendekatan sejarah, sosiologis dan budaya. Walaupun “tanggal yang tepat” berdirinya Kota Gunungsitoli masih berada di alam perdebatan, selain karena terbatasnya dokumen sejarah yang memberi informasi tentang ini, juga adanya berbagai versi yang ditulis oleh para pemerhati sejarah dan budayawan, dikaitkan dengan “momentum-momentum sejarah yang terjadi”, dan dengan mempedomani “perhitungan penanggalan suku Nias” yang dikonversi ke dalam penanggalan masehi.    

Ditulisnya buku “Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya” karya budayawan Nias, Faondragö Zebua alias Ama Yana dari Desa Sihare’ö Siwahili Kecamatan Gunungsitoli Barat Kota Gunungsitoli pada tahun 1992 (disunting oleh Dr. Marinus Telaumbanua pada tahun 1996) telah memberikan seberkas titik terang bagi masyarakat Nias tentang sejarah berdirinya Kota Gunungsitoli secara lugas. Paparan dan kajian yang cukup mendalam dalam buku ini telah menjadi warisan berharga bagi masyarakat Nias pada umumnya dan Kota Gunungsitoli pada khususnya. Namun sangat disayangkan, tulisan yang sangat berharga ini tidak begitu populer di kalangan masyarakat, terutama generasi muda pada saat sekarang banyak yang tidak mengetahuinya.    

Resensi yang begitu sederhana dan masih dangkal ini ditulis sebagai pandangan subjektif terhadap buku “Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya” karya Faondragö Zebua, dalam upaya untuk mengangkat kembali paparan, kajian dan gagasan yang sangat berharga dalam buku ini agar lebih dikenal luas oleh masyarakat, dan lebih menarik lagi bila menjadi bahan diskusi di tataran intelektual masyarakat Nias. Buku ini dapat diperoleh dari Sorayana Zebua, SE alias Ama Cipta, putra Faondragö Zebua, juga seorang budayawan Nias, berdomisili di Sihare’ö Siwahili Kecamatan Gunungsitoli Barat Kota Gunungsitoli. 

Berbagai Versi tanpa menafikan berbagai versi tentang tanggal berdirinya Kota Gunungsitoli, adapun fokus pembahasan pada kesempatan ini adalah “kapan momentum berdirinya Kota Gunungsitoli”. Beberapa versi momentum berdirinya Kota Gunungsitoli antara lain: (1) Berdirinya Kampung Dalam Ilir oleh Datuk Ahmad Caniago dari Minangkabau atas persetujuan Balugu Marga Zebua, Harefa dan Telaumbanua. Ia menikah dengan Siti Zorah, puteri Tuan Polem di Mudik, menantu Balugu Marga Harefa, Daerah kekuasaannya meliputi sepanjang pesisir timur Gunungsitoli (Simanungkalit, TAM., “Nias Ratusan Tahun Yang Lalu”, Surat Kabar Bukit Barisan, 13 Januari 1974); (2) Berdirinya Kampung Wulu Mudik oleh T. Polem, yang menikah dengan puteri Balugu Harimao Harefa. Daerah kekuasaanya meliputi Sabango, Labuha Angi, dan Mudik (Sahib, H.A.Y., “Modus Hari Jadi Kota Gunungsitoli”, Surat Kabar Waspada, 15 Januari 1985); (3) Ditetapkannya hukum adat Laraga-Talunidanoi melalui Fondrakö Bonio Ni’owuluwulu oleh Balugu Marga Zebua, Balugu Marga Harefa, dan Balugu Marga Telaumbanua atau yang disebut sitölu tua, yang wilayah kekuasaannya meliputi Hilihati, Dahana’uwe dan Bonio, dengan Luaha Sungai Nou (Zebua, Faondragö, “Kota Gunungsitoli, Sejarah Berdirinya dan Perkembangannya”, 1996).    

Pengertian fondrakö adalah musyawarah dan upacara penetapan hukum adat yang diberlakukan dalam suatu kesatuan wilayah dan kelompok masyarakat Nias. Sementara istilah balugu adalah gelar kebangsawanan orang Nias, yang telah mencapai kesempurnaan tahapan-tahapan secara adat. 

Sejarah Fondrakö Bonio Ni’owuluwulu
Menurut versi Faondragö Zebua, wilayah Kota Gunungsitoli sekarang pada awalnya merupakan teritorial Kerajaan Laraga dan Kerajaan Talunidanoi (yang berpusat di Luaha Laraga - kawasan Sungai Idanoi). Sementara pusat Kota Gunungsitoli sekarang, pada zaman dulu merupakan cikal bakal berdirinya pemukiman Hilihati (di Hilihati, wilayah Kota Gunungsitoli sekarang), yang disponsori oleh Balugu Löchözitölu Zebua; pemukiman Dahana’uwe (kira-kira 6 km dari Hilihati ke arah selatan menuju ke pegunungan), yang disponsori oleh Balugu Bawölaraga Harefa; dan banua Bonio (kira-kira 2 km dari Hilihati ke arah utara menuju ke pegunungan), yang disponsori oleh Balugu Laso Börömbanua Telaumbanua. Ketiga leluhur pemukiman yang disebut sitölu tua ini bersama-sama menggunakan Luaha Nou sebagai anaota atau tempat perhentian perahu-perahu dan melakukan kegiatan perdagangan. Perdagangan di Luaha Nou pada masa itu begitu ramai oleh para pedagang dari etnis lain seperti pedagang dari Aceh dan Minangkabau. Namun pada mulanya belum ada satu sistem nilai atau hukum adat yang berlaku sah di Luaha Nou ini. Pada tahun 1629 (versi Faondragö Zebua), dilaksanakanlah Fondrakö Bonio Ni’owuluwulu yang disponsori oleh sitölu tua. Fondrakö ini bersifat fowuluwuluni, dalam hal ini merevisi hukum adat Laraga-Talunidanoi (atau sering disebut adat Laraga) yang sudah lama berlaku sebelumnya dari Kerajaan Laraga dan Kerajaan Talunidanoi yang berpusat di tepi Sungai Idanoi. Fondrakö Bonio Ni’owuluwulu antara lain mengatur tentang jujuran perkawinan, pelaksanaan adat istiadat, batas teritorial dan bea pelabuhan.

Mengenai batas wilayah, ditetapkanlah wilayah teritorial antara masing-masing sitölu tua, yakni: (a) Wilayah marga Zebua adalah kawasan tengah, terbentang antara anak Sungai Bogalitö sebelah utara sampai Sungai Nou sebelah selatan; (b) Wilayah marga Harefa adalah kawasan sebelah selatan yang berbatasan pada Sungai Nou dengan wilayah Marga Zebua; (c) Wilayah Marga Telaumbanua adalah kawasan sebelah utara yang berbatasan pada anak Sungai Bogalitö dengan wilayah marga Zebua.    

Sementara Saota Luaha Nou (Pelabuhan Sungai Nou) adalah wilayah bersama sitölu tua. Kepada etnis asing (dawa) yang masuk pelabuhan Luaha Nou dikenakan bea pelabuhan yakni : (1) Karaza Mbawa Luaha (bea masuk perairan kawasan pelabuhan) diberikan kepada pemimpin marga Telaumbanua; (2) Fogala (bea masuk pelabuhan/termasuk memasang tambang penambat perahu dan bongkar muat barang) diberikan kepada pemimpin marga Zebua; dan (3) Fondrara (bea penarikan tambang penambat perahu/meninggalkan pelabuhan) diberikan kepada pemimpin marga Harefa.    

Dalam menghadapi musuh, sitölu tua senantiasa bersatu dan saling membantu, dengan didukung oleh marga-marga lain yang berada di wilayah teritorialnya. Teritorial hukum adat ini sampai sekarang meliputi eks Öri Tumöri (marga Zebua), eks Öri Dahana (marga Harefa), dan eks Öri Ulu (marga Telaumbanua). Öri adalah satu kesatuan badan pemerintahan yang diakui berlaku dalam masyarakat Nias di masa lalu. Demikianlah fondrakö itu disebut sebagai Fondrakö Bonio Ni’owuluwulu, namun pada prakteknya pada saat sekarang penyebutan hukum Fondrakö Bonio Ni’owuluwulu tidak begitu populer di kalangan masyarakat kebanyakan Kota Gunungsitoli, melainkan lebih populer disebut sebagai “Fondrakö Laraga”, yakni nama fondrakö yang sudah ada sebelumnya, yang direvisi melalui Fondrakö Bonio Ni’owuluwulu. 

Momentum Berdirinya Kota Gunungsitoli    
Berlakunya Fondrakö Bonio Ni’owuluwulu di wilayah kekuasaan sitölu tua pada masa lalu, telah memberlakukan satu tatanan hukum di wilayah Kota Gunungsitoli yang kita kenal sekarang. Yang dimaksud dengan hukum dalam hal ini adalah hukum adat Nias yang sah mengatur berbagai sendi-sendi kehidupan dan disepakati bersama-sama oleh kelompok masyarakat yang berada di dalam wilayah kekuasaan sitölu tua. Dapat disimpulkan bahwa momentum ini telah meletakan fondasi berdirinya sebuah kota modern yang menjadi cikal bakal Kota Gunungsitoli.    

Tanpa menafikan berbagai versi lainnya, dengan melihat sejarah di atas, berdasarkan pengakuan kebanyakan masyarakat Nias dan juga Pemerintah Kabupaten Nias (sebelum pemekaran), maka dapat ditegaskan bahwa “momentum berdirinya Kota Gunungsitoli adalah dilaksanakannya Fondrakö Bonio Ni’owuluwulu”. Dengan demikian, terjawablah persoalan “kapan momentum berdirinya Kota Gunungsitoli”. Mengenai kapan tanggal, bulan dan tahunnya masih dalam perdebatan. Beberapa versi mengenai tanggal, bulan dan tahun dimaksud antara lain: (a) tanggal 3 April 1678, (Lahagu, F, Drs., pidato ilmiah “Sejarah Kota Gunungsitoli”, IKIP Gunungsitoli:1984); (b) tanggal 6 April 1678 (Panitia Peneliti Perjuangan Rakyat Nias dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, “Sejarah Lahirnya Kota Gunungsitoli”, 1985). Versi kedua ini yang diakui oleh Pemerintah Kabupaten Nias; dan (c) tanggal 7 April 1629, (Zebua, Faondragö, “Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya, Gunungsitoli:1996). 

JASMERAH    

Bung Karno dalam pidato terakhirnya pada HUT RI 17 Agustus 1966, yang diberi judul JASMERAH (JANGAN SEKALI-KALI MENINGGALKAN SEJARAH) mengingatkan kita betapa pentingnya belajar dan bercermin dari sejarah. Sejarah ibarat seberkas cahaya yang menerangi perjalanan di kegelapan masa depan. Kaburnya sejarah, menciptakan suatu karakter masyarakat yang tidak memiliki kebanggaan, dan bermuara pada kaburnya identitas sebagai masyarakat yang berbudaya.    

Dalam perkembangannya wilayah sitölu tua yang kita kenal sebagai Kota Gunungsitoli sekarang telah banyak berubah, terutama yang dibawa oleh perpaduan berbagai etnis dan marga, kegiatan perdagangan, dan intervensi pemerintah melalui pembangunan. Tidak dapat dipungkiri, besarnya pengaruh berbagai keturunan marga-marga Nias lainnya diluar sitölu tua dan etnis lain seperti Aceh, Minangkabau, Tionghoa dan lain-lain juga telah turut menorehkan sejarah dalam berdiri dan berkembangnya Kota Gunungsitoli. 

Meningkatnya status Kota Gunungsitoli dari kota kecamatan menjadi daerah otonom berdasarkan UU No. 47 Tahun 2008, seharusnya menjadi momentum yang tepat bagi Pemerintah Kota Gunungsitoli untuk merevitalisasi sejarah berdirinya Kota Gunungsitoli. Namun, setelah hampir lima tahun menjadi daerah otonom baru, Kota Gunungsitoli tidak pernah memperingati hari ulang tahunnya. Andaikan berpedoman pada versi Faondragö Zebua, maka pada tanggal 7 April 2013 yang lalu, Kota Gunungsitoli seharusnya memperingati hari ulang tahun yang ke-384. Namun demikian, tanggal, bulan dan tahun yang tepat berdirinya Kota Gunungsitoli yang didasarkan pada pelaksanaan Fondrakö Bonio Ni’owuluwulu harus ditetapkan kembali oleh Pemerintah Kota Gunungsitoli melalui surat keputusan kepala daerah dengan persetujuan masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang didasarkan pada kajian yang mendalam terhadap berbagai versi yang sudah pernah digagas dan/atau diakui sebelumnya, serta melibatkan berbagai komponen, agar tidak menimbulkan kontroversi berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat. Dan alangkah baiknya, jika di masa yang akan datang, momentum berdirinya Kota Gunungsitoli ini dapat dirayakan sebagai Hari Ulang Tahun Kota Gunungsitoli.    

Monumen Sejarah 
Tugu Proklamasi di Lapangang Merdeka
Kota Gunungsitoli
Pada tahun 2005, Tengku Rizal Nurdin, Gubernur Sumatera Utara pada masa itu, meresmikan Monumen Guru Patimpus, dan menabalkan nama jalan Guru Patimpus di area Petisah Medan. Guru Patimpus diakui sebagai pendiri Kota Medan, yang pada tahun 1590 mendirikan kampung Medan di antara aliran Sungai Deli dan Sungai Babura. Di Jakarta berdiri Museum Fatahillah di Jalan Taman Fatahilah Jakarta Barat. Fatahillah diakui sebagai pendiri Kota Jakarta, memberi nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta pada tahun 1527. Kedua studi kasus ini menjadi momentum berdirinya Kota Medan dan Kota Jakarta, dan diperingati sebagai hari ulang tahun masing-masing kota.    

Banyak warga Nias yang mengira bahwa tugu setinggi ± 2,5 m yang telah lama berdiri di lapangan merdeka Kota Gunungsitoli sampai saat ini sebagai tugu berdirinya Kota Gunungsitoli. Perlu diluruskan bahwa yang sebenarnya tugu tersebut didirikan pertama kali pada tahun 1940 oleh Pemerintah Hindi Belanda untuk “memperingati seratus tahun Pemerintahan Hindia Belanda di Nias” (1840-1940). Kemudian pada tahun 1946, Pemerintah Kabupaten Nias di bawah kepemimpinan P.R. Telaumbanua, Bupati Nias pada masa itu, merobah status dan makna tugu itu menjadi “tugu proklamasi kemerdekaan Indonesia”.    

Drs. Marinus Telaumbanua, penyunting buku Faondragö Zebua “Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya” (1996) menulis dalam kata pengantarnya:  “dan …harapan kami, hati pembaca turut tergerak mewujudkan pinta penulis buku ini yakni agar di Kota Gunungsitoli dapat didirikan sejenis “TUGU” kenangan lahirnya Kota Gunungsitoli …”

Monumen sejarah bukanlah semata-mata sebagai hiasan yang memperindah sebuah kota, tapi lebih dari itu monumen sejarah sangat penting menunjukkan identitas sebuah kota. Monumen sejarah bercerita lebih banyak dari ratusan buku sejarah. Seperti halnya Kota Medan dengan tugu dan Jalan Guru Patimpus-nya, Kota Jakarta dengan museum dan Jalan Taman Fatahillah-nya. Bagaimana dengan Kota Gunungsitoli?

Resensator:
Kurniawan Harefa, SS
Ketua Badan Pengawas Lembaga Pendidikan dan Pengabdian Masyarakat Citra Nusa - Gunungsitoli

Iklan

Loading...
 border=