50 Tahun lagi Sumatera Utara akan Kehilangan Lahan Sawah
Sawah di salah satu daerah Sumut |Foto: Istimewa |
Sumatera Utara sebagai Provinsi terluas ke-10 di Indonesia dengan luas 72.981 hektar (BPS tahun 2015) memiliki potensi yang sangat luar biasa dalam bidang pertanian namun masih menghadapi masalah yang sampai saat ini belum terselesaikan dan justru semakin memburuk.
Masalah pertanian di Sumatera Utara antara lain penurunan kualitas dan kuantitas lahan pertanian, kurangnya infrastruktur pendukung, kelemahan sistem alih teknologi, akses permodalan, dan panjangnya mata rantai niaga hasil pertanian. Masalah-masalah tersebut jika dilihat secara nasional sebenarnya merupakan masalah yang dihadapi hampir semua provinsi di Indonesia.
Namun, masalah utama yang dihadapi Sumatera Utara adalah tingginya alih fungsi lahan yang menyebabkan lahan pertanian di Sumut kian menyempit.
Contoh untuk luas sawah, dari data yang diperoleh di situs BPS, luas lahan sawah di Sumatera Utara setiap tahunnya mengalami penurunan yang cukup tajam. Pada tahun 2003 luas lahan sawah adalah 538.180 hektar, lima tahun kemudian pada tahun 2008 luas lahan sawah menyempit menjadi 478.521 hektar lalu hingga tahun 2014 luas lahan sawah tercatat seluas 433.043 hektar.Dalam tempo waktu 12 tahun (2003 – 2014), Sumatera Utara telah kehilangan kurang lebih 105.137 hektar lahan sawah.
Jika penurunan luas sawah tersebut dianggap konstan per 12 tahunnya maka dapat diprediksi dalam jangka waktu kurang dari 50 tahun ke depan Sumatera Utara akan kehilangan lahan sawah pertanian. Penurunan ini terjadi karena tingginya alih fungsi lahan di Sumatera Utara.
Memang, perlu digarisbawahi bshwa alih fungsi lahan pertanian menjadi mall, perumahan permanen ataupun apartemen memang dapat menggerakkan perekonomian daerah namun kita harus tetap belajar dari sejarah yang pernah dilalui oleh Indonesia yaitu Krisis Moneter. Tercatat, salah satu hal yang menyebabkan Indonesia mampu keluar dari krisis moneter tahun 1998 adalah karena melimpahnya hasil bumi Indonesia yang dapat dikonsumsi maupun dijual.
Dampak krisis moneter tahun 1998 yang menyebabkan harga-harga barang naik sebenarnya paling dirasakan oleh penduduk kota besar yang sumber bahan pokok pangan diperoleh di pasar ataupun supermarket sedangkan bagi penduduk desa mereka tetap dapat mengkonsumsi bahan pangan pokok tanpa harus khawatir dengan kenaikan harga. Mereka dapat mengambil beras dari sawah, ikan dari sungai atau laut dan sayur dari ladang.
Kemudian, pertambahan penduduk yang terus meningkat menyebabkan kebutuhan akan pangan juga ikut meningkat.
Masalah selanjutnya yang dihadapai Sumatera Utara adalah menurunnya kuantitas petani. Petani masih diidentikan dengan pekerjaan kasar dan kelompok masyarakat ekonomi bawah. Inilah yang menyebabkan banyak orang yang enggan berusahatani. Padahal ini tidak seutuhnya benar. Hal ini diperburuk dengan banyaknya lembaga keuangan seperti perbankan di Indonesia yang enggan memberikan pinjaman modal karena tingginya ketidakpastian dalam bertani.
Pemprov Sumut sebenarnya sudah mengeluarkan Perda no 3 tahun 2015 yang mengatur tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) jika melanggar. Penerbitan perda ini sebenarnya sudah tepat, namun memiliki masalah dalam pengawasannya. Sumutera Utara yang begitu luas dan lahan sawah yang tersebar di desa-desa menjadi hambatan dalam pengawasannya.
Solusi masalah ini dapat kita pelajari dari Negara Thailand. Luas negara Thailand jika dibandingkan dengan Indonesia hanyalah sebesar pulau Sumatera namun sistem pertanian mereka sudah sangat maju bahkan hingga saat ini menjadi negera eksportir beras ke Indonesia. Pada tahun 1966 Thailand yang dikepalai oleh Raja Bhumibol Adulyadej mendirikan Bank of Agriculture yang tujuannya adalah memberi modal kepada para petani. Hal ini dilakukan karena Thailand sangat menyadari bahwa kekuatan terbesar mereka adalah dalam bidang pertanian.
Pemerintah Thailand memberlakukan kontrak antara pemerintah dan masyarakat dengan memberikan 0.8 Ha lahan kepada setiap masyarakat Thailand yang ingin bertani. Masyarakat yang ingin bertani akan dibantu pemerintah berupa lahan, penyuluhan dan bantuan permodalan melalui Bank of Agriculture.
Modal menjadi hal yang penting. Jika petani tidak diberikan modal, maka mereka tidak dapat bertani, sebaliknya jika mereka diberi pinjaman berupa uang atau lahan tanpa adanya kontrak, mungkin saja uang pinjaman dibelanjakan untuk kebutuhan non tani. Masalah inilah yang membuat pemerintah Thailand memberlakukan kontrak lahan pertanian kepada masyarakat dan mendirikan Bank Of Agriculture selaku bank yang fokusnya memberikan pinjaman modal dan sebagai pengawas bagi petani yang telah meminjam modal.
Pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara harus bergerak cepat dalam mengatasi penyempitan lahan pertanian. Pemprov dapat bekerjasama dengan pemerintah pusat dalam merumuskan tindakan nyata, salah satunya dengan menuntaskan sertifikasi lahan sehingga dapat memberlakukan kontrak lahan kepada masyarakat.
Dibalik masalah yang sedang dialami Sumatera Utara dalam beberapa tahun terakhir khusunya masalah korupsi, maka inilah kesempatan bagi Sumut melakukan perbaikan fundamental dan mencegah hal yang kita takutkan 50 tahun kedepan terjadi. Mari bekerja nyata untuk kepentingam rakyat banyak dan bukan hanya untuk kepentingan segelintir kelompok.
Opini dari:
Penulis: Adrianus Hia.Opini dari:
Mahasiswa Pascasarjana Sains Agribisnis Institut Pertanian Bogor.
Alamat : Jl. Sukamulya Bogor
No hp : 081382353182
Email : adrianushia@gmail.com