Terbaru

Perilaku Politik Transaksional Caleg dan Pemilih Pada Pileg 2019 di Pulau Nias

Oleh: Budi Gea

Pemimpin Redaksi wartanias.com |Foto:
dok. WNC
Sebentar lagi Pemilihan legislatif akan berlangsung, para caleg telah memasang “ancang-ancang” dalam meramu strategi dalam meraup suara. Baliho, dukungan, gerilya politik semakin gencar. Namun tak kalah hebatnya “pundi-pundi” yang merupakan logistik dalam memperlancar kemenangan hampir menjadi faktor penentu dalam merebut konstituen. 

Para incumbent berusaha mendekati “penguasa” yang memiliki akses dalam kelancaran logistik. Sikap “menjilat” dan “PDKT” dilakukan agar kebagian “kue proyek” dalam menghasilkan uang sebagai modal pileg. Maka jangan heran, di tahun politik ini kita menyaksikan suatu “koor massal” para legislatif dalam mendukung kebijakan para pejabat demi meraih simpati dan finansial. 

Konsentrasi di pusatkan pada dapil masing-masing sehingga kepedulian  lagi akan fungsinya dalam pengawasan kebijakan pemerintahan lokal mulai berkurang dan terabaikan.

Timbul suatu pertanyaan:
Mengapa terjadi perilaku politik transaksional dalam pemilihan umum legislatif ?
Mengapa pemilih cenderung berperilaku pragmastis dalam menghadapi pemilu? 

Dalam sistem politik demokrasi, Parpol menjadi penghubung politis antara pemilik kekuasaan, yaitu rakyat, dengan pemerintah sebagai pemegang mandat kekuasaan. 

Fungsi utama Parpol adalah untuk menyerap dan menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat, melakukan pendidikan politik ke masyarakat tentang hak dan kewajiban warga Negara dalam kehidupan bernegara, melakukan rekrutmen politik secara demokratis sesuai perundang-undangan yang berlaku untuk mengisi jabatan publik di semua tingkatan pemerintahan, memformulasikan dan menetapkan kebijakan umum melalui institusi legislatif, melakukan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan publik melalui kadernya di lembaga legislatif, menjadi penengah antara kepentingan/aspirasi rakyat dengan pemerintah beserta kebijakannya dan menjadi alat pengontrol kepentingan pribadi politisi yang duduk sebagai wakil rakyat maupun pejabat politik.


Pada sisi lain Parpol adalah ruang publik yang besar dalam konteks Negara dan lembaga perwakilan rakyat, sebagaimana individu adalah bagian dari ruang publik dalam lingkup parpol.

Kekuasaan mempunyai dua tabiat yang kontradiktif secara diamtral satu sama lain yaitu daya pesona yang luar biasa, tetapi sekaligus mempunyai kecenderungan merusak, apalagi kalau kekuasaan absolute, pemegang kekuasaan pasti akan merusak tatanan kehidupan masyarakat. 

Daya pikat kekuasaan semacam ini mengakibatkan pertarungan memperebutkan kekuasaan pasti akan merusak tatanan kehidupan masyarakat. Daya pikat kekuasaan semacam ini akan mengakibatkan tindakan menghalalkan segala cara.

Watak kekuasaan ini, mengakibatkan pertarungan memperebutkan kekuasaan menjadi sangat rawan terhadap tindakan menghalalkan segala cara, mulai dari bujuk rayu, intimidasi sampai dengan tekanan fisik.

Demokrasi hanya menjadi sekedar pertarungan memperebutkan kekuasaan demi kepentingan transaksional akan dapat mencerabut posibilitas politik sebagai upaya membangun kehidupan bersama yang lebih beradab.

Korupsi politik adalah ketika pejabat Negara menyalahgunakan kekuasaan atau menyelewengkan otoritas dan wewenang untuk meraih keuntungan pribadi. Bentuk korupsi politik seperti: pengambilan dana publik yang menjadi sumber pendapatan Negara, penggelapan pajak, penyunatan anggaran pembangunan, permintaan komisi untuk proyek yang didanai pemerintah, penyuapan untuk memuluskan proyek legislasi, pembuatan kebijakan publik dan persetujuan anggaran belanja Negara. 

Pejabat publik dalam lingkungan legislatif, akan melihay kedudukan sebagai alat, bukan tujuan. Oleh karena itu kode etik mengandalkan bahwa para pejabat publik dapat berperilaku sebagai pendudkung nilai moral dan sekaligus pelaksana dari nilai tersebut dalam tindakan nyata. 

Selain itu, pejabat publik harus memiliki moral filsuf dan aktivitas moral yang baik, yang memerlukan pemahaman dan kepercayaan terhadap  nilai rejim, dan rasa kebajikan yang luas bagi orang-orang bangsa. 

Kemudian, migrasi politisi lebih sering dipicu hal-hal yang bersifat transaksional dan pragmatis. Perpindahan politisi ke partai lain terjadi bukan karena perbedaan ideologi tapi politisi tersebut gagal memperebutkan posisi dan jabatan strategis dalam parpol. 

Oleh sebab itu dalam memperebutkan kursi dalam pertarungan di gelanggang Pemilihan Umum para caleg tidak segan menggunakan cara dan jalan pintas termasuk melakukan politik uang.

Politik uang masih merebak di segala tingkatan pada Pemilu, dengan mudah menjumpai politik uang dalam segala bentuknya, seperti pemberian sembako, bantuan materi hingga pemberian uang. Akibatnya para caleg yang maju dalam Pemilu sebagai calon pemimpin hanya terbatas dari kalangan yang memiliki sumber dana ekonomi besar. 

Ada kecenderungan bahwa mereka yang menjadi kandidat dalam berbagai jenjang Pemilu bukan karena kapasitas dan kapabilitasnya sebagai politisi yang mengakar dan memahami atau mempresentasikan aspirasi rakyat. Akan tetapi karena memiliki uang maka mereka menjadi caleg.

Semakin banyak para kandidat menginvestasikan modal sosial, budaya dan ekonomi dalam kampanye maka akan semakin besar modal politik yang diperolehnya dan ini merupakan pintu masuk untuk merebut kekuasaan politik. Sistem politik dipandang sebagai “faktor hulu” penentu kemajuan bangsa, sedang faktor hillirnya dapat ditelisik dari kemajuan masyarakat di bidang pemenuhan kebutuhan dasar, pemerataan ekonomi, dan rasa aman bagi seluruh elemen masyarakat. 

Sementara rekrutmen caleg dapat dipandang sebagai faktor tengah dalam hubungan “hulu-hillir”

Bahkan Menurut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva, perilaku politik para elit politik peserta Pemilu ini tentunya mempengaruhi politik masyarakat pada umumnya. Masyarakat semakin menerima penyimpangan-penyimpangan dalam Pemilu sebagai sebuah kewajaran, sehingga menjadi permisif terhadap hal tersebut. 

Praktik politik uang, intimidasi, maupun pengerahan massa tentunya tidak akan terjadi dalam cakupan yang luas apabila masyarakat melakukan penolakan dan apabila fakta kemudian menunjukkan praktik penyimpangan tersebut tidak memunculkan hasil yang diharapkan. 

Dalam masyarakat yang permisif seperti ini sulit diharapkan timbulnya politik bersih dalam pelaksanaan demokrasi. Jika kondisi dan praktik politik yang buruk  dibiarkan maka akan tumbuh menjadi budaya politik dan membahayakan kelangsungan sistem pemerintahan demokrasi yang dianut. Politik transaksional terjadi secara masif dan pulgar, para pemilih tidak segan-segan untuk “menjual” suaranya dalam bentuk materi dan uang. Sehingga sudah menjadi rahasia umum jika para caleg yang bertarung harus mengikuti pola para pemilih yang akan berjanjinya setelah memperoleh “sesuatu” dari para caleg. 

Hal inilah yang menyebabkan karakter pemilih rasional makin jauh dari harapan. Politik wani piro (berani bayar berapa) sudah melekat dihati para pemilih, mereka secara terang-terangan meminta sesuatu dan bertransaksi guna memperoleh materi sebelum janji pencoblosan caleg waktu hari pemungutan suara. 

Bagi caleg yang memiliki modal tebal, politik transaksional akan mudah direalisasikan dengan istilah yang kita kenal “serangan fajar".

Perilaku ini sebenarnya sangat merugikan pemilih karena dengan hanya diberikan sesuatu, mereka dianggap dibeli oleh caleg, yang jika terpilih nanti tidak akan terjadi kewajiban untuk membalasnya dalam bentuk kebijakan program pembangunan yang berpihak pada warga. 

Kerugian ini semakin bertambah karena pemilih hanya dijadikan alat transaksi politik untuk merebut dan menguasai kekuasaan selama lima tahunan dan para pemilih pragmatis hanya kebagian tontonan para wakilnya yang bergaya hisup mewah, tidak memperjuangan aspirasi dan meluruskan kebijakan yang salah nantinya.

Perilaku pragmatis disebabkan kegagalan dalam pendidikan politik yang seharusnya dilakukan oleh partai politik dan pendidikan politik yang seyogianya menjadi tanggung jawab Negara.

Bila demikian, bisakah kita berharap banyak kepada para wakil rakyat? Hanya waktulah yang menjawabnya.

Penulis: Sati Budiman Gea, A.Md (Budi Gea) saat ini bekerja sebagai Pemimpin Redaksi wartanias.com dan Penggiat Sosial Media. 

Iklan

Loading...
 border=