BPJS Gusit: Program JKN-KIS Amanah Negara Yang Harus Dipikul Bersama
Konferensi Pers BPJS Gunungsitoli |Foto: Ferry Harefa |
Gunungsitoli, - Kepala BPJS Kesehatan Cabang Gunungsitoli, Harry Nurdiansyah mengatakan bahwa Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) merupakan amanah Negara yang harus dipikul bersama.
"BPJS Kesehatan tidak dapat berdiri sendiri mengelola program jaminan kesehatan dengan jumlah peserta terbesar di dunia ini. Masing-masing pihak memiliki peran penting untuk memberikan kontribusi sesuai dengan otoritas dan kemampuannya," terang Harry pada siaran pers dalam rangka sosialisasi Peraturan Presiden (Pepres) nomor 82 tahun 2018 terkait implementasi Program JKN-KIS bertempat di kantor BPJS Cabang Gunungsitoli, Rabu (19/12/2018).
Saat itu Harry menerangkan bahwa Perpres Nomor 82 Tahun 2018 juga mendorong Kementerian, Lembaga, dan para pemangku lainnya untuk melakukan perbaikan di berbagai aspek, mulai dari sisi pelayanan kesehatan, manajemen sistem rujukan, pengawasan terhadap pelayanan kesehatan, koordinasi manfaat, koordinasi penjaminan pelayanan, hingga mengoptimalkan upaya efisiensi dan efektivitas pelaksanaan Program JKN-KIS.
"Dengan adanya landasan hukum baru tersebut, semoga peran kementerian atau lembaga terkait, Pemerintah Daerah, manajemen fasilitas kesehatan, dan stakeholder lainnya yang terlibat dalam mengelola JKN-KIS bisa semakin optimal," harapnya.
Pada kesempatan itu juga Harry menyampaikan informasi seputar tunggakan pembayaran serta denda layanan yang akan diberlakukan kepada peserta yang terlambat melakukan pembayaran iuran.
"Dalam Perpres tersebut menegaskan bahwa peserta JKN-KIS yang menunggak akan dinonaktifkan status kepesertaannya jika ia tidak melakukan pembayaran iuran sampai dengan akhir bulan. Apalagi bila yang bersangkutan menunggak lebih dari 1 bulan," kata Harry.
Dijelaskannya bahwa status kepesertaan JKN-KIS peserta tersebut akan diaktifkan kembali jika dia sudah membayar iuran bulan tertunggak, paling banyak untuk 24 bulan. Ketentuan ini berlaku mulai 18 Desember 2018. Harry juga menambahkan bahwa kalau dulu hanya dihitung maksimal 12 bulan, namun sekarang telah diketatkan lagi aturannya menjadi 24 bulan.
"Contohnya, peserta yang pada saat Perpres ini berlaku, peserta tersebut telah memiliki tunggakan iuran sebanyak 12 bulan, maka pada bulan Januari 2019 secara gradual tunggakannya akan bertambah menjadi 13 bulan dan seterusnya pada bulan berikutnya, sampai maksimal jumlah tunggakannya mencapai 24 bulan,” jelas Harry.
Sementara terkait denda layanan Harry juga menegaskan akan diberlakukan kepada peserta jika terlambat melakukan pembayaran iuran.
"JIka peserta tersebut menjalani rawat inap di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) dalam waktu sampai dengan 45 hari sejak status kepesertaannya aktif kembali, maka ia akan dikenakan denda layanan sebesar 2,5% dari biaya diagnosa awal INA-CBG’s. Adapun besaran denda pelayanan paling tinggi adalah Rp 30 juta," terang Harry.
Namun, dia juga menjelaskan bahwa ketentuan denda layanan dikecualikan untuk peserta PBI, peserta yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah, dan peserta yang tidak mampu.
"Ketentuan ini sebenarnya bukan untuk memberatkan peserta, tapi lebih untuk mengedukasi peserta agar lebih disiplin dalam menunaikan kewajibannya membayar iuran bulanan. Jangan lupa, di balik hak yang kita peroleh berupa manfaat jaminan kesehatan, ada kewajiban yang juga harus dipenuhi,” kata Harry mengingatkan.
(Ferry Harefa)