Terbaru

Si Õfa Handrauli, Pengokoh Kekerabatan bagi Masyarakat Nias

Selfilia Telaumbanua |Foto: istimewa 

oleh:  Selfilia Annastasia Benaria Telaumbanua 

 
Konsep daliha natolu bagi masyarakat Batak adalah filosofis atau wawasan sosial-kultural yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. Filosofis ini menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat batak, ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama (somba marhulahula, elek marboru, dan manat mardongan tubu) (periksa wikipedia.org/wiki/dalihan).

Dapat dipastikan bahwa setiap kelompok masyarakat/etnis di seantero nusantara (dunia) memiliki kearifan lokal sebagai pengokoh kekerabatan. Termasuk etnis Nias yang masuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara. 

Dalam sebuah sesi perkuliahan, seorang dosen yang mengampu mata kuliah dasar-dasar  budaya menantang kami yang non-Batak untuk melakukan kajian kecil-kecilan. Saya yang beretnis Nias ditugasi untuk melacak pengokoh kekerabatan bagi masyarakat di Kepulauan Nias.

Awalnya saya kesulitan karena sejak kelas 1 SMA sudah berdomisili di Kota Medan yang sejak usia dua tahun tinggal di Kota Malang. Namun saya tidak patah arang. Sejumlah orang tua, baik di Medan maupun di Nias saya hubungi untuk mendapatkan informasi. Termasuk membaca sejumlah referensi terkait budaya Nias. 

Si õfa handrauli  
Dalam memusyawarahkan dan/atau memutuskan sesuatu, masyarakat Nias mengenal istilah fondrakõ. Johannes M. Hammerle (1986) merumuskannya bahwa  fondrakö adalah penyatuan orang untuk merumuskan kebulatan ketetapan atau kebulatan keutusan di dalam rapat, disebut orahua yang dilaksanakan di tempat rapat yang disebut Si Õfa Handrauli. Di situ dirumuskan jenis hukum tentang pemeliharaan dan perlindungan kehidupan. 

Penelusuran lebih lanjut adalah ungkapan si õfa handrauli. Informasi  tentang ini diperoleh dari Dr. Sadieli Telaumbanua, M.Pd., M.A. (pemerhati budaya Nias dan mantan Kadis Pendidikan Kota Gunungsitoli) bahwa terminologi si õfa handrauli diadaptasi dari tiang utama (penopang) rumah adat Nias Utara/Tengah yang berjumlah empat buah dengan istilah si lalõ yaŵa (terjemahan bebas: tiang penyangga bangunan sampai ke atas).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada saat leluhur Nias melaksanakan musyawarah senantiasa duduk di antara si lalõ yaŵa ini. Situasi tempat inilah melahirkan sebuah istilah yang pada saat itu disebut  si õfa handrauli.

Pertanyaan selanjutnya adalah apa esensi si õfa handrauli ini? Dengan menggunakan pisau analisis semiotika (analisis simbol/lambang/tanda), Pak Telaumbanua menjelaskan bahwa dalam kehidupan kekerabatan masyarakat Nias, konsep si õfa handrauli mewujud dalam empat posisi masyarakat terutama dalam pesta adat.

Keempat kelompok fungsional ini adalah soboto, talifusõ,uwu/si tenga bõ’õ, dan  banua. Si õfa handrauli ini selalu hadir dan terlibat baik dalam berbagai aktivitas adat-istiadat, sosial, dan budaya. 

Pertama, soboto (keluarga inti) adalah sipangkalan, tuan rumah. Keluarga yang menyelenggarakan pesta adat, misalnya pesta pernikahan dapat disebut soboto.  Artinya, keluarga ini yang menjadi pangkal kegiatan adat dan sejenisnya. Juga pada saat mengalami kedukaan juga disebut soboto.

Jadi, istilah soboto merujuk pada kelompok keluarga yang menjadi sumber atau pangkal aktivitas adat-istiadat. Dalam praktik saat ini, tidak terbatas pada acara adat saja, namun semua aktvitas sosial lainnya setiap keluarga mendapat sebutan soboto.

Kedua, talifusõ (saudara soboto) adalah orang-orang yang memiliki pertalian darah dengan soboto. Mereka ini senantiasa mendampingi sipangkalan dalam berbagai peristiwa sosial dan budaya. Kedudukan talifusõ sangat penting dalam berbagai aktivitas soboto. Seseorang yang berkehendak meminang putri Nias, misalnya, yang pertama dihubungi adalah talifusõ dari soboto ini. Talifusõ inilah nanti yang akan menyampaikan pinangan ini kepada soboto. Demikian juga ketika soboto ingin menikahkan putranya, talifusõ mendapat tugas menghubungi keluarga putri (talifusõ) yang dilamar. Jadi, talifusõ dalam kekerabatan masyarakat Nias memiliki fungsi yang menentukan.

Ketiga, uwu (saudara dari istri soboto) adalah kelompok fungsional yang harus dihormati oleh soboto dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya. Kelompok fungsional ini biasanya keluarga yang memiliki pertalian darah, satu rumpun, bahkan kemungkinan satu kampung/desa. Sebutan lain bagi kelompok ini sitenga bõ’õ yang terdiri atas paman anak-anak soboto termasuk paman soboto (suami-istri) sendiri. Jadi, uwu atau sitenga bõ’õ dalam tatanan hidup masyarakat Nias memiliki fungsi sebagai pengokoh kekerabatan dalam berbagai kegiatan sosial dan budaya. 

Keempat, banua (saudara sekampung) adalah kelompok masyarakat yang memiliki keterikatan dengan soboto, baik hubungan darah maupun hubungan sekampung serta hubungan karena adat-istiadat. Kelompok fungsional masyarakat yang hidup bersama dalam satu tatanan disebut banua. Masyarakat Nias tidak diikat oleh marga (Nias: famadosa) seperti yang dikenal oleh masyarakat Batak. Kekerabatan orang Nias terefleksi pada kampung (Nias: fabanuasa).

Satu kampung di Nias biasanya terdiri atas satu marga serta tidak tertutup kemungkinan dihuni oleh  sejumlah marga. Setiap kegiatan adat-istiadat dan kegiatan sosial lainnya, kelompok fungsional banua tidak boleh diabaikan. Ketika sesama Nias bertemu di mana pun,  yang pertama ditanyakan adalah kampung asal (banua). Ini merefleksikan bahwa etnis Nias lebih mengedepankan banua daripada marga. Munculnya kumpulan marga dalam bentuk serikat tolong-menolong di luar Kepulauan Nias diduga sebagai adaptasi dari masyarakat Batak.  

Simpulan 
Kendati tulisan ini masih bersifat hipotesis, setidaknya dapat menggugah para pembaca untuk merefleksi jejak para leluhur Nias dalam memperkokoh kekerabatan sekaligus persatuan dan kesatuan. Soboto, talifusõ, uwu/si tenga bõ’õ, dan banua adalah kelompok fungsional yang selalu hadir dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya. Peribahasa mengingatkan masyarakat Nias,  Andrö wa so gehomo, andrö wa so ndriwa, folazi zi lalõ yawa, afu omo lö aso’a. (terjemahan bebas: Tonggak, pemberat, dan penyangga berfungsi menopang agar rumah tidak roboh). Apakah sebutan si õfa handauli pada kelompok fungsional ini relevan atau mungkin ada sebutan lain terbuka untuk dikritisi. 
Seiring dengan hajatan akbar Sail Nias 2019 pada bulan September ini, pemerintah pusat dan daerah perlu memperhatikan kearifan lokal agar masyarakat tidak tercabut dari akar tradisi yang telah teruji keampuhannya. Prinsip dari, oleh, dan bagi masyarakat relevan dikedepankan.  

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan kekerabatan yang kokoh. Kearifan lokal setiap etnis di negeri ini termasuk Nias perlu digali, dikembangkan, dan dilestarikan sebagai pemantik kebersamaan keberagaman putra-putri bangsa dalam keberagam. Tanpa kebersamaan serta menghargai keberagaman akan merontokkan visi besar bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera.

Semoga tidak tergerus oleh euforia penonjolan politik identitas termasuk revolusi industri 4.0 yang sedang membahana di seantero negeri. 

(Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara

Iklan

Loading...
 border=