Terbaru

SANKSI PIDANA UNTUK PELAKOR

Dr. Beniharmoni Harefa |Foto: istimewa
Oleh : Beniharmoni Harefa

Perebut laki orang (pelakor) menjadi trending topik terakhir ini, khu¬¬susnya di Kota Gunungsitoli, pasca viralnya video yang diduga perkelahian antara pelakor dan seorang perempuan yang diduga istri dari seorang pria yang bersama dengan si pelakor. Singkatnya, pelakor dapat berarti sebagai se¬orang perempuan yang berhubungan dengan se¬orang pria lain yang telah terikat per¬kawinan yang sah dengan perempuan lain. Pria tersebut memiliki istri yang sah.

Beragam tanggapan netizen perihal pelakor. Ada yang me¬nyalahkan si pria, tetapi sepertinya lebih banyak pula yang menyalahkan si perempuan. Apabila dilihat secara cermat, istilah pelakor seolah-olah mendiskreditkan perem¬puan. Menyatakan bahwa seorang pelakor, terkesan bahwa si perem¬puan sematalah yang berusaha merebut pria tersebut. Jangan lupa, bahwa terlaksananya hubungan gelap atau perseling¬kuhan itu tentu tidak terlepas dari adanya peran si pria. Sehingga, lebih tepatnya, dalam konteks terjadinya perselingkungan seharusnya pria dan perem¬puan ha¬rus sama-sama disalahkan, tidak hanya si pelakor.

Delik Perzinahan

Hal ini kemudian penting untuk penulis kemukakan, karena hukum pidana Indonesia mengatur persoalan perselingkuhan antara pria dan wanita yang salah satu terikat perkawinan yang sah, namun salah satu diantaranya (pria) bermain mata dengan pelakor. Hal ini secara tegas diatur di pasal 284 KUHP yang dikenal dengan delik perzinahan (overspel). Dalam delik perzinahan yang dapat dijerat atau dimintai pertanggungjawaban pidana adalah si pria dan si perempuan (pelakor).

Sesungguhnya, perselingkuhan yang dila¬kukan para pelakor ini termasuk per¬buat¬an zina dan dapat dijerat dengan meng¬¬gunakan Pasal 284 KUHP. Dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP dikatakan bah¬wa diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, apabila a) seorang pria yang telah kawin yang melakukan gen¬¬dak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, atau b) seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketa¬hui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.

Overspel atau gendak menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai perem¬puan yang disukai (diajak berzina). Dapat juga dikatakan sebagai perempuan simpanan. Adapun syarat yang harus dipenuhi agar hubu¬ngan seorang pria dan perem-puan yang tidak sah dikatakan sebagai gen¬dak adalah adanya hubungan seksual secara nyata dan suka sama suka antara si pria dan perempuan.

Namun perlu diingat, tidak semua hubungan seksual tersebut dapat dikena¬kan pidana perzina¬han. Menurut KUHP, suatu hubu¬ngan seksual baru dikua¬li¬fi¬kasikan sebagai tindak pidana perzinahan ka¬lau salah satu perempuan dan laki-laki atau keduanya sudah memiliki suami/isteri. Dengan kata lain, sudah terikat dengan perkawinan yang sah.

Ternyata, bukan hanya laki-laki atau pe¬rempuan yang sudah terikat dalam per¬kawinan yang sah itu yang dapat di¬pi¬dana. Pasangan atau selingkuhannya juga turut dipidana. Ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHP mengatakan bahwa a) seorang pria yang turut serta me¬la¬kukan perbuatan itu, padahal dike¬ta¬hui¬nya bahwa yang turut bersalah telah ka¬win, dan b) seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan per¬buat¬an itu, padahal diketahui olehnya bah¬wa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

Perseling¬kuhan pe¬lakor ini termasuk di dalam delik aduan. Artinya bahwa aparat penegak hukum tidak otomatis dapat bertindak kecuali mendapatkan pe¬ngaduan terlebih dahulu dari suami/isteri dari salah satu atau keduanya dari pasangan yang berselingkuh. Selama tidak ada pengaduan, maka tidak bisa dikualifikasikan sebagai tindak pidana.

Selain ke¬tentuan Pasal 284 KUHP, pelakor juga da¬pat dijerat pidana dengan ketentuan Pa¬sal 279 KUHP yang mengatur bahwa di¬ancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun jika pertama, barang siapa mengadakan perkawinan padahal me¬ngetahui bahwa perkawinan atau per¬kawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu; kedua, barang siapa menga¬dakan per¬kawinan padahal menge¬tahui bahwa per¬ka¬winan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu. 

Apabila disederhanakan, seseorang dapat dipidana maksimal 5 tahun jika se¬seorang melakukan perkawinan kem¬bali tanpa persetujuan dari isteri pertama dan ijin pengadilan. Bahkan jika seseorang mela¬kukan per¬kawinan tanpa perse¬tujuan isteri pertama dan ijin pengadilan tetapi justru berusaha me¬nyembunyikan perkawinannya yang per¬tama kepada pihak lain (calon suami/isteri yang baru maupun keluarganya) dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Dalam Rancangan KUHP  Indonesia, ketentuan pidana yang mengatur menge¬nai pe¬lakor maupun perzinahan ini semakin di-perberat.

Pembuktian

Dalam hukum acara pidana suatu tindak pidana dapat dijatuhkan sanksi pidana, apabila dengan sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan (Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/ KUHAP). Selanjutnya alat bukti yang sah terdiri dari a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c.Surat; d.Petunjuk dan e.Keterangan Terdakwa (Pasal 184 KUHAP).

Agar perbuatan si pelakor dan si pria dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, maka istri atau suami sah selain mengadukan ke pihak berwajib, selanjutnya pihak berwajib harus mencari alat bukti minimal 2 alat bukti untuk memenuhi unsur-unsur delik sebagaimana yang dimuat dalam delik perzinahan sebagaimana dijelaskan di atas. Setelah dua alat bukti yang sah ada dan memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi delik perzinahan maka penyidik dapat menetapkan si pelakor dan si pria sebagai tersangka.

Perlu diingat bahwa yang menjadi tersangka adalah si pelakor dan si pria hidung belang, tidak boleh salah satu, tetapi harus berdua. Selanjutnya yang perlu diingat lagi bahwa delik perzinahan ini termasuk dalam delik aduan, artinya bahwa kendatipun sudah ditetapkan sebagai tersangka, apabila istri sah mencabut laporan pengaduan, maka perkara dapat dihentikan. Hal ini dapat dipahami, karena pembentuk Undang-Undang bermaksud menyelematkan mahligai rumah tangga dari si pria dan istri sah, tidak sekedar menjatuhkan sanksi pidana.

Namun yang perlu ditegaskan bahwa ada sanksi pidana untuk si pelakor, sanksi pidana dijatuhkan tidak hanya untuk si pelakor sendiri, namun terhadap si pria selingkuhannya. Perbuatan pelakor termasuk di dalam delik perzinahan yang dapat diproses oleh aparat penegak hukum apabila terdapat pengaduan dari istri/ suami sah. Penyidikan terhadap delik perzinahan dapat dihentikan, apabila pengaduan dicabut oleh istri/ suami sah. 

Penulis: Dosen Hukum Pidana FH UPN Veteran Jakarta

Iklan

Loading...
 border=