Terbaru

(NAÖTÖ)_ SAÖNIGEHO BERTANYA


Oleh : Samuel Novelman Wau

Pendahuluan

Tidak ada orang yang bisa menentukan akan dilahirkan dalam keluarga mana. Dan tidak ada juga yang bisa memilih siapa yang menjadi leluhurnya. Kita dilahirkan dalam pohon keluarga masing-masing oleh ayah-ibu dan sejumlah nama yang menjadi leluhur kita. 

Status ini tidak dapat diprotes apalagi hendak diingkari. Bagian kita adalah mensyukuri ketetapan sang Pemberi hidup dan sekaligus menjaga nama baik keluarga termasuk para leluhur yang telah menurunkan kita. 


Nama Saönigeho

Sebelum Injil menyapa suku Nias, mereka pernah mengekspresikan rasa hormat tertingginya terhadap orang tua dan leluhur dengan membuat patung yang dinamakan _Adu Zatua_ dan _Adu Nuwu_. Diakui bahwa oleh karena limitasi keimanan praktek ini tergelincir dalam penyembahan berhala. Bagian ini harus diakui sebagai sesuatu yang salah. 

Namun rasa hormat suku Nias terhadap orang-orang yang telah memperanakkan mereka tidak bisa diabaikan begitu saja. Ini sikap yang baik. Mengingatkan kita nasehat kuno yang berkata demikian: “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu …”

Ono namagu wa ösa ndrao adalah ungkapan yang kerap kita dengar diantara orang Nias. Sepintas lalu kalimat tersebut terkesan arogan dan menantang, namun bila ditelisik dengan seksama sesungguhnya di dalamnya terkandung tekad kuat untuk menjaga kehormatan keluarga – sesuatu yang tidak boleh diusik oleh siapapun. 

Bila ada yang berani menyentuhnya tentu akan ada protes, pertanyaan yang menuntut pertanggungjawaban.

Beberapa tahun yang lalu artikel dengan judul “Pembangunan Monumen Saönigeho, Seharusnya Siapa Menghadap Siapa?” yang dimuat dalam salah satu media online sempat mengkritik pemkab Nias Selatan periode 2010-2015 terkait rencana pembangunan monumen Saönigeho karena tidak berdialog dengan keluarga besar Saönigeho. 

Pihak keluarga hanya ingin memastikan tujuan dari pembangunan itu. Mereka tidak mau apabila penabalan nama Saönigeho disalahgunakan untuk kepentingan yang tidak sesuai. Belakangan kritik didengar dan beberapa perwakilan keluarga diundang ke rumah dinas bupati untuk diberikan penjelasan. 

Persoalan pun selesai dan monumen rampung – walaupun sekarang monumen itu sudah rusak karena tidak dirawat selama bertahun-tahun.

Selain monumen ini, ternyata pemkab Nias Selatan pada masa itu merencanakan juga pembangunan patung Saönigeho yang akan ditempatkan di tengah-tengah kota. 

Material sudah disiapkan bahkan patung sudah terbentuk lengkap dengan perlengkapan tradisional Niasnya termasuk _aya fonduru_. 

Namun sayangnya oleh karena ada pergantian kepemimpinan rencana ini tidak dilanjutkan oleh pemerintah periode 2015-2020. Patung pun dibiarkan terlengkup di rumah dinas dekat toilet umum. Mustahil tuan rumah  tidak mengetahui informasi tentang keberadaan patung tesebut.

Perlakuan tidak terpuji ini sangat disayangkan. _Naötö_ Saönigeho memprotes dengan keras. Protes dilayangkan bukan karena pembangunan patung tidak diteruskan – bukankah sejak awal tidak seorang pun dari keluarga Saönigeho yang memohon-mohon supaya patung leluhurnya dibangun? Perlakukan terhadap (patung) Saönigeho itulah yang memantik rasa sensitif keturunanya. 

Di sini tidak ada sedikit pun niat ingin mengkultuskan atau memberhalakan patung maupun sosok Saönigeho. Saönigeho adalah manusia biasa dan ia tidak boleh dikultuskan. Namun sosok yang berjasa membesarkan nama Bawömataluo ini dan sudah mempertaruhkan banyak hal dalam perjuangan melawan Belanda tidak seharusnya diperlakukan serendah itu. 

Mungkin akan ada yang berkata: “Itu hanya patung. Batu biasa.” Ya itu hanya batu biasa selama belum didedikasikan untuk menghormati seseorang. Namun ketika itu sudah dihubungkan dengan nama Saönigeho tentu saja batu atau patung itu menjadi representatifnya. Pemaknaan simbol-simbol ini sebenarnya sangat dekat dengan alam pikir orang Nias. 

Di halaman-halaman kampung tradisional suku Nias terhampar ratusan batu-batu megalit yang di atasnya melekat nama-nama para leluhur. Adakah yang berani berkata itu cuma batu biasa lalu membuangnya? Tentu saja tidak ada. Sebaliknya orang Nias berusaha merawatnya dan tidak jarang memamerkannya dengan penuh rasa bangga.

Tulisan ini hendak mempertanyakan sikap pemkab Nias Selatan terhadap Saönigeho. Kenapa proyek yang sudah hampir selesai itu tidak diteruskan walau ada pergantian kepemimpinan 5 tahun yang lalu? Bila memang dirasa nama Saönigeho tidak signifikan bagi kepentingan pemerintah sekarang lalu dimanakah patung itu ditempatkan? Membiarkannya sekian lama di depan toilet umum rumah dinas adalah sikap yang tidak terpuji. Kiranya nasehat ini: _“He löna ba dödöu mbinu ba yaso ba dödöu jobinu”_ masih dijunjung tinggi.


Saönigeho dan Bawömataluo

Seorang pemerhati budaya Nias pernah mengulas di akun facebook Save Bawömataluo dengan sangat baik hubungan Saönigeho dengan Bawömataluo. Keduanya bagai dua sisi keping mata uang. 

Sejak masih bermukim di Orahili (lama) hingga eksodus di bukit yang sekarang dinamakan Bawömataluo, Saönigeho memainkan peran penting dalam kehidupan _fabanuasa_. 

Ia terjun langsung memimpin pergerakan warganya melawan penjajah Belanda. Ketika tiba saatnya ia naik di puncak kekuasaan sebagai _balö ji’ulu_ dan membawa Bawömataluo memasuki masa-masa kebesarannya. 

Lambang-lambang hegemoni Bawömataluo seperti _omo nifolasara (omo sebua), osali ndra ama (mbale_), batu-batu megalit di depan _ewali sawolo_ yang masih ada sampai hari ini diselesaikan pembangunannya. Nama besar Bawömataluo yang menjadi kebanggaan Nias Selatan bahkan kepulauan Nias tidak bisa dilepaskan dari kontribusi Saönigeho. 

Satu hal yang tidak boleh dilupakan juga dari _balö ji’ulu_ yang bergelar _Tuhafamaedodanö_ ini adalah pengorbanannya yang membiarkan dirinya rela ditawan Belanda demi menyelamatkan Bawömataluo. 

Sebagaimana diketahui pasca perang Hiligeho tahun 1908 kapten Krusheer bersama pasukan Marsosenya mendatangi Saönigeho di Bawömataluo. Krusheer meminta Saönigeho menyerahkan diri atau pasukan Belandanya akan membumihanguskan pemukiman di Bukit Matahari itu. 

Saönigeho pun memilih ditawan karena kecintaannya terhadap Bawömataluo. Seandaninya saja suami Sibolono ini mengedepankan keselamatan dirinya sulit membayangkan apakah Bawömataluo masih ada hari ini atau tidak?

Dari sini nampak jelas hubungan tak terpisahkan antara Saönigeho dan Bawömataluo. Karena itu sejatinya Saönigeho bukan hanya milik keturunannya atau kerabat lainnya _(mbambatö)_.  _Balö ji’ulu_ yang juga bergelar _Siliwugere_ ini adalah milik Bawömataluo. Bila ingin diperluas lagi Saönigeho adalah milik Öri Maniamölö. 

Ketika Saönigeho kembali dari penawanan ia berhenti di sungai Ho lalu memotong _högö göndröra_ (hiasan cawat) miliknya yang terbuat dari emas sambil berkata: _“Höli-höli Maniamölö”_ (tebusan Maniamölö). Satu kalimat yang menegaskan ikatan emosionalnya dengan saudara-saudaranya sewilayah Maniamölö.

Karena itu sikap terhadap sosok Saönigeho hendaknya diperbaiki. Beberapa tahun yang lalu mantan bupati Idealisman Dachi ketika mengetahui ada polemik terkait pembangunan monumen Saönigeho, ia segera mengundang pihak keluarga Saönigeho dan membangun dialog dengan mereka. 

Sikap ini mesti bisa diikuti oleh bupati sekarang, Hilarius Duha. Belum terlambat bila pemerintah daerah memberikan penjelasan kepada pihak keluarga Saönigeho, _fabanuasa_ Bawömataluo bahkan Öri Maniamölö tentang keberadaan patung Saönigeho tersebut.


Penutup

Kejadian ini kiranya menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Ungkapan klasik orang Nias mengatakan: _“Oya jitebai ba Nono Niha.”_ Ini adalah pesan moral yang mengajar kita untuk lebih berhati-hati dalam bersikap terlebih kepada orang tua, leluhur atau seseorang yang punya kontribusi bagi ke-Nias-an kita.

Iklan

Loading...
 border=