Terbaru

Mengenal Kedaluwarsa Tagihan Atas Beban APBN


Oleh: Saeful Azis (Kasubbag Umum KPPN Gunungsitoli)

Dalam sejarah penyelenggaraan keuangan negara di Indonesia, ketentuan mengenai kedaluwarsa tagihan kepada negara telah diatur dalam Pasal 60 Indische Compabiliteitswet (ICW Stbl 1925 No. 448) yang menyebutkan bahwa “Dengan menyimpang dari pasal-pasal 1954 dan 1967 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka hak tagihan-tagihan mengenai utang-utang atas beban Negara, dengan tidak memandang kebangsaan dari pihak-pihak berpiutang, kedaluwarsa sesudah lima tahun terhitung mulai had sesudah tanggal 31 Desember dari tahun piutang itu sudah dapat ditagih, kecuali bila piutang-piutang itu karena ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dikenakan masa daluwarsa yang lebih pendek.” 

Ketentuan tersebut kemudian dituangkan kembali dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyebutkan bahwa “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.” 

Penjabaran lebih lanjut atas ketentuan Pasal 40 UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, khususnya Pasal 76A, 76B, dan 76C. 

Namun demikian, petunjuk operasional pengaturan mengenai kedaluwarsa tidaklah tepat jika diletakkan dalam sebuah peraturan pemerintah, karena petunjuk operasional bersifat teknis dan jika terdapat kebutuhan perubahan proses bisnis akan lebih sulit untuk dilakukan revisi. Berdasarkan hal tersebut, Pasal 76C PP Nomor 50 Tahun 2018 mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai kedaluwarsa hak tagih mengenai tagihan atas beban negara diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Dalam perkembangannya, terdapat beberapa permasalahan tagihan kepada negara yang timbulnya hak tagih kepada negara telah lewat waktu 5 (lima) tahun, terutama terkait pembayaran susulan/kekurangan gaji dan pembayaran pensiun. 

Banyaknya permasalahan terkait ketentuan kedaluwarsa tagihan kepada negara mencapai puncaknya dengan adanya gugatan uji materiil terhadap ketentuan Pasal 40 UU Perbendaharaan Negara. Atas gugatan tersebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XIV/2016 antara lain memuat amar putusan yang menyebutkan bahwa menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai diberlakukan terhadap jaminan pensiun dan jaminan hari tua. 

Amar putusan tersebut membatalkan ketentuan kedaluwarsa 5 (lima) tahun untuk hak tagih pembayaran pensiun. 

Di sisi lain, dalam pengurusan keuangan negara, pengaturan mengenai kedaluwarsa hak tagih kepada negara tersebut eksistensinya sangat diperlukan mengingat kemampuan fiskal negara terbatas sedangkan kegiatan penyelenggaran negara dan pembangunan sesuai anggaran belanja negara yang telah disusun setiap tahun. 

Oleh karena itu, ketentuan kedaluwarsa hak tagih kepada negara  diperlukan untuk mengantisipasi ketidakpastian (uncertainty) potensi beban fiskal. Selain itu, untuk efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan administrasi negara, pemeliharaan dokumen (arsip) juga dibatasi. 

Hal ini juga menjadi permasalahan jika terdapat tagihan kepada negara, sementara dokumen pendukung  sesuai ketentuan telah dapat dimusnahkan, sehingga tidak dapat terselenggara mekanisme saling uji (check and balances).

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, agar ketentuan kedaluwarsa hak tagih kepada negara sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dapat dilaksanakan secara operasional serta memberikan kepastian hukum, perlu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan.


1.  Kedaluwarsa dalam Hukum Keuangan Negara.

Pasal 40 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang. Bila diperhatikan, pengaturan kedaluwarsa dalam UU Perbendaharaan Negara memiliki makna yang tidak berbeda dengan Pasal 60 ICW yang kemudian diadopsi oleh berbagai ketentuan pada masa sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. 

Menurut Siswo Sujanto dalam keterangan yang dibacakan pada sidang Uji Materi Pasal 40 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kedaluwarsa yang diterapkan dalam pengelolaan keuangan negara merupakan kedaluwarsa extinctive, yaitu kedaluwarsa yang dapat mengakibatkan hilangnya hak seseorang karena terlewatinya waktu. Terkait dengan itu, untuk dapat dinyatakan kedaluwarsa sebuah tagihan kepada negara harus memenuhi tiga unsur yaitu: 


a. Lahirnya hak;

Lahirnya hak yaitu hak untuk menerima sesuatu dari pemerintah, seperti halnya ketika seorang calon pegawai negeri untuk menerima gaji adalah diterbitkannya surat keputusan oleh pejabat yang berwenang. Tanpa adanya surat keputusan, seseorang yang telah diangkat menjadi menjadi pegawai pemerintah tidak dapat menerima penghasilan yang berupa gaji. 


b. Diabaikannya hak tersebut; 

Untuk menciptakan proses saling uji (check and balance) dalam pengelolaan keuangan negara, setiap tagihan kepada negara harus dilakukan penagihan terlebih dahulu kepada negara. Tanpa proses penagihan, negara tidak dapat membayarkan tagihan tersebut. Pasal 76A PP 50 Tahun 2018 menyatakan bahwa hak tagih timbul pada saat telah terpenuhinya syarat penagihan kepada negara baik secara formal maupun material sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya upaya penagihan, dapat disimpulkan bahwa pemilik hak tagih telah mengabaikan haknya tersebut.


c. Terlewatinya waktu yang telah ditentukan. 

Pengaturan jangka waktu kedaluarsa dalam UU Perbendaharaan Negara ditentukan selama 5 (lima) tahun pada dasarnya adalah untuk memenuhi kepastian hukum dan ketertiban administrasi. Pemerintah dan DPR berpandangan bahwa jangka waktu lima tahun dianggap sebagai waktu yang ideal dalam penyelesaian sautu tagihan. 


2. Penundaan Kedaluwarsa

Kedaluwarsa dari sisi pemilik hak tagih dianggap sebagai suatu ancaman yang akan menghapus haknya. Namun demikian, pengaturan dalam UU Perbendaharaan Negara dan PP 50 Tahun 2018, hal mengenai kedaluwarsa dapat dicegah/ditunda yaitu dengan mengajukan tagihan.  

Penundaan kedaluwarsa (stuiting) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 40 ayat (2) menyatakan bahwa kedaluwarsaan tertunda apabila pihak yang berpiutang mengajukan tagihan kepada negara/daerah sebelum berakhirnya masa kedaluwarsa, sedangkan menurut Pasal 76A menyatakan bahwa kedaluwarsa tertunda dalam hal pihak yang berpiutang mengajukan tagihan kepada  negara sebelum berakhirnya masa kedaluwarsa, dan masa kedaluwarsanya dihitung kembali sejak tanggal 1 Januari tahun berikutnya. 

Iklan

Loading...
 border=