Terbaru

Peran Pemilih Milenial dan Pengawasan Partisipatif


Oleh : Izfar Anaz

- Staf Panwaslucam Gunungsitoli
- Peserta Sekolah Kader Pengawas Partisipatif tahun 2020

Awal tahun 2023 menjadi babak baru kepemiluan di Indonesia. Proses perekrutan dan pelantikan penyelenggara ad-hoc pemilihan umum di KPU dan Bawaslu menandakan persiapan pemilihan anggota legislatif berbagai tingkat, kepala daerah, dan presiden diadakan serentak di tahun depan. Pemilu menjadi angin segar untuk menentukan lokomotif untuk kemajuan daerah dan Negara tercinta. Penyelenggara bersiap menyiapkan pesta demokrasi lima tahunan secara matang, termaksud sosialiasi kepemiluan untuk milenial, sebutan beken untuk pemilih muda.

Pemilih Milenial adalah para pemilik suara yang baru pertama sekali melaksanakan hak pilihnya di bilik kotak suara. Menurut UU No. 10 tahun 2008, masyarakat Indonesia disaat pemilihan umum berlangsung memasuki usia 17 tahun tergolong pemilih pemula. Para pemilih ini memiliki perbedaan mencolok dari basis pemilih lainnya. Perbedaan tersebut antara lain tingkat pengetahuan dan preferensi politik yang dimiliki. Pemilih usia muda tergolong swing voters karena perilaku yang antusias, relatif lebih rasional, tipis kadar pragmatisme, serta semangat akan perubahan. 

Pelajar dan mahasiswa menjadi segmen kejutan dan menjanjikan secara kuantitas dalam partisipasi pemilihan. Hasil survei responden menurut Center for Strategic and International Studies (CSIS) tahun 2022 menunjukkan persentase partisipasi pemilih muda 2019 meningkat daripada pemilu 2014. Jumlah pemilih milenial di data KPU tahun 2019 sekitar 70-80 jiwa dari total 193 juta pemilih. Diperkirakan bonus demografi penduduk Indonesia didominasi anak muda berusia 17-39 tahun hingga mencapai 60% dari total pemilih tahun 2024. 

Data dan survey membuktikan dominasi pemilih muda untuk memilih di bilik suara menentukan suksesnya pemilihan umum tahun depan. Tetapi kelompok ini memiliki sikap dinamis dan lebih cepat berubah persepsi politiknya. Keputusan yang belum menentu dan ragu menjadi tantangan penyelenggara pemilu untuk aktif sosialisasi ke tengah masyarakat. Keterlibatan kepemiluan segmen milenal memberikan suara di tempat pemungutan suara jadi perhatian lebih, termaksud melibatkan kedalam pengawasan partisipatif.
Pengawasan partisipatif merupakan kegiatan sukarela dilaksanakan oleh individu atau lembaga bertujuan memastikan penyelenggara pemilu yang demokratis. Dalam Perbawaslu No 2 Tahun 2023, pengawasan partisipatif diselenggarakan oleh Bawaslu, Bawaslu Propinsi, Bawaslu Kota/Kabupaten dan Panwaslu Kecamatan dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kepengawasan pemilihan umum. 
Pengawasan partisipatif nyatanya keikutsertaan dan keterlibatan publik memberi pengawasan yang bertujuan memperbaiki dan meningkatkan kualitas demokrasi, mewujudkan integritas serta memastikan penyelenggaraan pemilu sesuai aturan berlaku. 

Berangkat dari urgensi pengawasan, ada 3 poin menarik lahirnya pengawasan partisipatif. Antara lain terbatasnya petugas pengawasan pemilu untuk memastikan terwujudnya keadilan, kompleksitas pemilu dan pelanggaran yang semakin beragam, serta mengawal proses berjalan baik demi mendorong cita-cita pemilu. Secara prinsip pengawasan partisipatif dilakukan secara jujur, adil, ikhlas, terbuka, inovatif, dan tidak berpihak ke siapapun.

Sebagai amanat di UU No 7 tahun 2017 tentang pemilu, perwujudan pengawasan partisipatif menjadi tanggung jawab kita bersama, termaksud kaum muda. Pemilih milenial tidak hanya sebatas objek suara, namun subjek keberpihakan dalam keadilan pemilihan umum. Keterlibatan organisasi masyarakat, kepemudaan, mahasiswa, pelajar, dan komunitas justru memudahkan Bawaslu sebagai menjalankan tugas kepengawasan pemilu. Namun pemilih milenial sebagai sosok pengerak arus utama jadi labil memberi keputusan memberi pilihan suara.

Kaum muda yang lebih dinamis soal persepsi sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Berbagai isu hoax, politik uang, politik identitas jadi konsumsi publik menjadi toxic mimpi dan cita-cita kualitas demokrasi. Dinamika politik yang semakin tidak menentu justru membuat milenial cepat apatis dan menarik diri jauh dari hinggar bingar mimpi perubahan. Generasi ini jadi pesimis, sinis akan perubahan, alergi bicara demokrasi, dan memilih fokus di dunia realitis. Hal ini menjadi tantangan bersama untuk mengayomi, mengedukasi, mengadvokasi generasi milenial dan jadikan mereka patner pengawas partisipatif. 

Berbagai tantangan yang akan dihadapi penyelenggara pemilu untuk menunjukkan pemilu yang berintegritas. Anak muda sebagai barometer perubahan menjadi penggerak arus utama bersama elemen masyarakat mengawal dan mengawasi pemilihan umum berjalan dengan semestinya. Terlibatnya 24 lembaga pemantau pemilu tahun 2024 menjadi yang sebagian diisi oleh organisasi kemahasiswaan nasional jadi semanagat pemilu yang akan berlangsung sukses. Bonus demografi dan melek informasi para pemilih milenial harapan besar untuk terwujudnya keadilan pemilu. Partisipasi milenial menjadi dukungan luar biasa kepada penyelenggara pemilu dan meningkatkan kualitas iklim demokrasi. 

Pemilihan umum tinggal menunggu waktu hingga akhirnya tiba. Suara-suara masyarakat menentukan hingga 5 tahun kedepan. Lima menit duduk dan menunggu antrian panggilan di TPS untuk dapat memberi arah perubahan di dalam kotak suara. Pemilih milenial yakin antusias ke TPS memberi suara ke orang-orang yang dapat menjadi wakil rakyat sebenarnya dan pemimpin yang dirindukan. Tidak lupa para milenial ikut serta mengawasi tanpa embel-embel materi atau janji-janji oknum tidak bertanggung jawab. Karena partisipasi mereka adalah wujud suci keterlibatan anak muda akan keyakinan perubahan demi terwujudnya pemilu yang integritas, jujur, dan adil. (Red). 

Iklan

Loading...
 border=