Terbaru

Kapolri Minta Anggotanya Responsif Tangani Laporan Masyarakat


Jakarta, - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta anggotanya responsif dalam menangani perkara tanpa menunggu viral terlebih dahulu. Semua perkara yang diadukan masyarakat harus dapat ditindaklanjuti selekas mungkin.

"Kami menekankan kepada seluruh personel Polri agar terus melakukan pembenahan, melakukan tindakan yang cepat, melakukan responsif yang cepat tanpa harus menunggu hal tersebut menjadi viral," kata Listyo Sigit, di Jakarta, beberapa waktu lalu. 

Harus diakui, fakta di lapangan berbeda dengan apa yang disampaikan Kapolri. Seperti yang menimpa Paulus Amat Tantoso, pemilik PT Hosana Exchange, sebuah perusahaan money changer di Batam, Kepulauan Riau, yang telah melaporkan perkaranya sejak 2019 silam, namun hingga kini, prosesnya berjalan sangat lambat.

"Perkara ini dilaporkan ke Bareskrim Polri dengan Nomor: LP/B/0864/X/2019/Bareskrim tanggal 3 Oktober 2019 atas dugaan tindak pidana penipuan penggelapan, dan pencucian uang yang dilakukan 3 orang yakni, M, Y dan K. Ketiganya telah ditetapkan sebagai tersangka, namun tak kunjung ditahan," terang Wardaniman Larosa Kuasa Hukum Paulus Tantoso, di Jakarta, Sabtu (5/4/2025).

Terhadap laporan tersebut, kata Larosa, telah dilakukan gelar perkara khusus oleh Wasidik Bareskrim Polri, 13 Februari 2025 lalu. "Dalam gelar perkara tersebut, kami telah menyajikan fakta-fakta terjadinya tindak pidana, termasuk dugaan adanya aliran dana ke rekening anak Y," lanjutnya.

Dirinya menyayangkan, polisi pun tidak bisa menahan tersangka Y (WNI yang berdomisili di Batam). Padahal, bukti-bukti yang diberikan harusnya sudah cukup untuk dilakukan penahanan. "Ada apa dengan polisi kita yang lambat menangani perkara tersebut?" tanya Larosa lagi.

Dia yakin, bila Y ditahan, maka kasus ini akan semakin terang benderang. "Sampai sekarang Y masih dibiarkan berkeliaran, sementara klien kami sudah menderita kerugian begitu besar. Ini benar-benar harus menjadi perhatian penyidik. Setidaknya dilakukan penahanan terhadap Y," pintanya. 

Dikatakannya, melihat fakta-fakta yang ada, maka tidak ada alasan kalau Mabes Polri tidak menindaklajutinya.

Lamanya proses hukum juga disoroti oleh ahli pidana Dr. Hendri Jayadi Pandiangan SH., MH. Menurutnya, proses yang begitu lama menunjukkan aparat kepolisian tidak profesional. 

"Penyidik harus gerak cepat (gercep) menyikapi persoalan tersebut. Perkara ini harus ada progres yang jelas dan terbuka ke publik. Perkara yang ratusan triliun saja bisa diselesaikan cepat, kenapa yang cuma ratusan milyar lama sekali," ungkapnya merasa aneh.

Di sisi lain, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso mengakui selama ini polisi memang lebih memilih menangani lebih dulu kasus-kasus yang viral. Alasannya sederhana, kasus-kasus tersebut mendapat perhatian masyarakat.

"Fenomena No Viral No Justice merupakan bukti masih banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan aparat penegak hukum, terutama soal pelayanan kepada masyarakat," seru Sugeng.

Pengamat Kepolisian di Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto mendorong polisi memiliki skala prioritas. "Ada kecenderungan polisi tidak menindaklanjuti laporan yang tak mendapat dukungan materi atau kekuasaan sampai akhirnya viral di media sosial," tandasnya.

Kemungkinan melaporkan penyidik ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam), menurutnya, bisa saja dilakukan bila penyidik dianggap tidak becus dalam menangani perkara.  Keterlambatan menangabi perkara hingga 6 tahun terkatung-katung menandakan ketidakprofesionalan penyidik. 

Sebagai korban, Paulus Amat Tantoso yang juga Ketua Umum Asosasi Pedagang Valuta Asing (APVA) mengaku, perkara tersebut sangat menyiksa dirinya dan keluarga. "Saya ditipu. Sebagian uangnya milik relasi, di mana selama 6 tahun ini saya masih bayar utang kepada para relasi," akunya.

Dirinya mengaku miris karena perkaranya sudah sampai 6 tahun tidak ada kejelasan. "Mau sampai kapan saya harus menunggu terus tanpa kepastian," pungkas Paulus. (Red/rls)

Iklan

Loading...
 border=